Senin, 14 Maret 2011

REVOLUSI-SOCIOKULTURAL DALAM PEMBELAJARAN (Oleh: Nurhadi, M.Pd. guru SMA Negeri 5 Jayapura)

Bagaimana potensi siswa dalam proses belajar dapat diberdayakan secara efektif? Sejauh mana peran faktor sosiologis dalam menunjang faktor individu selama proses belajar? Mengapa seorang guru sangat penting mengaktifkan kedua faktor tersebut selama proses pembelajaran berlangsung? Nah diskusi singkat ini kiranya dapat memperjelas pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga perhatian guru selama pembelajaran tidak hanya terpaku pada faktor individu siswa namun juga mengakomodasi faktor-faktor penyangga lainnya selama pembelajaran. Sehingga pembelajaran yang berlangsung tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih ke arah kokonstruksi, yaitu mengkonstruksi pengetahuan baru bersama-sama antarsemua pihak yang terlibat di dalamnya sesuai zona perkembangan proxima-nya.

Teori belajar revolusi-sosiokultural berada dalam lingkup teori belajar kognitif yang diarahkan pembahasannya pada teori belajar Piagetian dan Vygotsky. Teori Piagetian menekankan peran individu serta teori Vygotsky yang menekankan peran sosial dalam perkembangan kognitif siswa. Namun keduanya menjadi dasar terumusnnya teori belajar revolusi-sosiokultural.

A. Teori Belajar Piagetian

Menurut John Piaget, perumus teori belajar Piagetian, belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu, C. Asri Budiningsih (2005:97). Keaktifan siswa menjadi unsur terpenting, sedangkan penataan kondisi bukan sebagai penyebab terjadinya belajar sebagaimana pemahaman teori belajar behavioristik. Lebih lanjut dikatakan, bahwa perkembangan kognitif merupakan proses genetik, yang didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang semakin kompleks sistem syarafnya, maka ketika seseorang makin dewasa dan melakukan adaptasi biologis dengan lingkungan yang dihadapi, hal ini akan menyebabkan perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya.

Proses adaptasi ini terdiri melalui dua bentuk, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dengan asimilasi, seseorang mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Sedangkan dengan proses akomodasi seseorang memodifikasi struktur kognitif yang telah ada dengan pengetahuan baru tersebut. Piaget, dalam C. Asri Budiningsih (2005:98) dalam teori perkembangannya membagi tahap-tahap perkembangan kognitif siswa menjadi empat tahap, yaitu: 1) sensorimotor ketika berumur 0-2 tahun, 2) praoperasional ketika berumur 2-7/8 tahun, 3) operasional konkret ketika berumur 7/8-11/12 tahun, dan 4) operasional formal ketika berumur 11/12-18 tahun. Penjelasan tahapan-tahapan tersebut sudah dibahas pada bab teori belajar kognitif terdahulu.

Teori belajar ini telah berkembang luas dan digunakan pada bidang psikologi dan pendidikan. Namun Supratiknya, dalam C. Asri Budiningsih (2005:98) mengkritik bahwa dalam beberapa aspek teori belajar Piagetian menimbulkan implikasi kontraproduktif dengan perspektif teori belajar revolusi-sosiokultural. Dari segi locus of cognitive development teori Piaget menganut teori psikogenesis yang menganggap pegetahuan berasal dari individu, di mana dalam proses pembelajaran siswa berdiri terpisan dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Faktor utama penentu belajar adalah individu (individualisme), sedangkan lingkungan sosial sebagai penentu sekunder. Menurutnya, dalam belajar mementingkan interaksi siswa dengan anggota kelompoknya, buka dengan orang dewasa. Oleh karena itu teori belajar Piagetian kurang sesuai dengan perspektif teori belajar revolusi-sosiokultural yang sebenarnya.

B. Teori Belajar Vigotsky

Lev Vigotsky menyatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosio-kultural dan sejarahnya, Mol & Greenberg dalam C. Asri Budiningsih (2005: 99). Perkembangan fungsi mental seseorang berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, bukan dari individu itu sendiri. Hal ini sejalan dengan salah satu sumber dari internet yang menyatakan:
“...Vygotsky’s belief that social interaction leads not only to increased levels of knowledge, but that it actually changes a child's thoughts and behaviours…it is the goal of parents and educators alike to help children become high achievers….”

Bahwa Vigotsky meyakini bahwa perkembangan interaksi sosial bukan untuk meningkatkan level pengetahuan saja, tetapi kenyataannya hal ini juga untuk merubah pemikiran dan perilaku anak...hal ini menjadi tujuan orang tua atau pendidik untuk membantu anak menjadi pembelajar-pembelajar terbaik.

Moll dalam C. Asri Budiningsih (2005: 99), menyatakan bahwa mekanisme hubungan dalam pendekatan sosiokultural dengan fungsi mental ada pada mediasi semiotik, yaitu berupa lambang atau tanda-tanda beserta makna yang terkandung di dalamnya yang berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas dalam pendekatan sosiokultural dengan manusia sebagai tempat berlangsungnya proses mental. Vygotsky menggarisbawahi perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis, di mana dimensi kesadaran sosial bersifat primer dan dimensi individualnya bersifat derivatif (turunan) serta bersifat sekunder. Pengetahuan dan perkembangan kognitif berasal dari sumber-sumber sosial, namun individu juga harus bersifat aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan yang didapatkannya dari sumber sosial tersebut (kokonstruktivisme). Jadi perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh individu yang aktif mengkonstruksi pengetahuan dari lingkungan sosial yang aktif menjumpainya.

Beberapa konsep penting teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan revolusi sosio-kultural, yaitu: hukum genetik tentang perkembangan, zona perkembangan proksima, dan mediasi.

1. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development).

Tumbuh dan berkembangnya kemampuan kognitif seseorang selalu melalui dua tahapan, yaitu tataran sosial seseorang membentuk lingkungan sosial atau intermental (bersifat primer/konstitutif) dan tataran psikologis di dalam diri seseorang atau intramental (derivasi/sekunder). Fungsi mental yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan berasal dari lingkungan sosial, sementara fungsi intramental terentuk melalui penguasaan dan internalisasi seseorang terhadap proses sosial tersebut, dan pemaknaan atau konstruksi pengetahuan akan terbentuk melalui proses internalisasi tersebut.

2. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)

Dari salah satu sumber internet dijelaskan bahwa Vygotsky mendeskripsikan Zona Perkembangan Proximal (ZPP) sebagai berikut:
"...the distance between the actual development level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers."

Perkembangan kemampuan seseorang untuk mengkonstruksi pengetahuan meliputi dua tingkat, yaitu tingkat aktual dan potensial. Tingkat aktual terlihat ketika seseorang menyelesaikan tugas-tugasnya secara mandiri sedangkan pada tingkat potensial seseorang harus mendapatkan bantuan orang yang lebih dewasa atau teman sebayanya yang kompeten. Zona perkembangan di antara tingkat aktual dengan potensial tersebut dinamakan zona perkembangan proksimal (ZPP), yaitu di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan seseorang yang belum matang atau dalam proses pematangan dan memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa atau teman sebayanya yang kompeten.

Untuk menafsirkan ZPP ini digunakan interpretasi scaffolding, yaitu dengan menganggap ZPP sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan mencepai perkembangan yang lebih tinggi, dengan bantuan berupa contoh dari orang dewasa atau teman sebaya yang kompeten dalam memecahkan masalah tertentu. Salah satu sumber dari situs internet menyatakan, “Scaffolding is instructor shows by example how to solve a problem”. Hal-hal yang perlu diperhatikan, bahwa perkembangan belajar bersifat interdependen (saling terkait), perkembangan kemampuan seseorang bersifat context dependent (tak terpisah dengan konteks sosial), dan bentuk fundamental belajar adalah partisipasi dalam kegiatan di sekitarnya (sosial).

Menurut Seels&Richey (2005: 46), tahap kegiatan seperti ini berada dalam zona media utilization. “Media utilization is the systematic use of resources for learning. The media utilization process is a decision-making process based on instructional design specifications..” Artinya, pemanfaatan media adalah penggunaan secara sistematik berbagai sumber untuk kegiatan pembelajaran. Proses pemanfaatan media merupakan sebuah proses pemecahan masalah (belajar) yang didasarkan pada spesifikasi desain pembelajaran). Dengan berbagai media bantuan cognitif scafolding tersebut diharapkan siswa dapat memecahkan masalah belajarnya serta mengembangkannya ke ZPP yeng lebih tinggi.

Sebelum kemampuan intramental terbentuk seseorang perlu dibantu dalam proses belajarnya, misalnya dengan memberi contoh, memberikan umpan balik, menarik kesimpulan dan sebagainya.

Dalam hal ini Vygotsky menggarisbawahi:
“…There are three ways in which learning is passed along to an individual. Imitative learning is the first, where the child simply copies another person. Second is instructed learning, where a child recalls direction given by a teacher and then puts it into play, and the third is collaborative learning. Collaborative learning happens when a peer group cooperates to learn or achieve a specific goal while working to understand one another.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka dengan pemberian contoh pembelajar akan mengalami imitasi (belajar dengan meniru secara sederhana dari orang lain), belajar dengan cara mengikuti petunjuk guru melalui permainan (semacam cognitif scafolding menurut Seels & Richey), dan belajar secara kolaboratif (saling pengertian satu sama lain) secara pasangan maupun kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Seseorang yang telah dibantu tetapi dia tidak menunjukkan kemajuan maka dia harus diturunkan ke zona di bawahnya. Sebaliknya bagi yang menunjukkan peningkatan setelah mendapatkan bantuan maka zonanya ditingkatkan.

3. Mediasi

Vygotsky memberi perhatian pada lambang atau tanda-tanda (psychological tool) yang merupakan produk lingkungan yang berfungsi sebagai mediator dalam proses sosial/psikologis seseorang, yaitu berupa bahasa, tanda dan lambang atau semiotika. Dalam proses internalisasi pada diri seseorang, mediasi semiotik menjadi penghubung antara rasionalitas dengan lingkungan sosiokultural sehingga menghasilkan pengetahuan.

Menurut Supratiknya dalam C. Asri Budiningsih, 2005: 103), bahwa ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif.

a. Mediasi metakognitif yaitu komunikasi antarpribadi dengan meggunakan alat untuk regulasi diri (self regulation), yang meliputi: self planning, self-monitoring, self checking, dan self-evaluating. Orang yang lebih dewasa atau teman sebaya yang kompeten menggunakan alat tersebut untuk membantu anak, selanjutnya anak menginternalisasi alat tersebut untuk regulasi diri.

b. Mediasi kognitif yaitu penggunaan alat-alat kognitif (berupa konsep spontan atau konsep ilmiah) untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu (subject-domain problem). Konsep ilmiah lebih terjamin kebenaranya dari pada konsep spontan, yang mana konsep tersebut diinternalisasi siswa (sebagai mediator) dalam pemecahan masalah. Konsep ilmiah dapat berupa pengetahuan deklaratif (yang kurang memadai) dan pengetahuan prosedural berupa metode atau strategi yang lebih memadai untuk memecahkan masalah. Agar proses pemecahan lebih bermakna maka caranya adalah memadukan antara konsep-konsep dan prosedur tersebut melalui demonstrasi dan praktik.

Beberapa keuntungan yang didapat dari teori Vygotsky di atas, yaitu:

1) anak berkesempatan luas mengembangkan ZPP melalui belajar dan berkembang

2) pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya

3) pembelajaran perlu lebih diarahkan pada strategi pengembangan kemampuan intermental dari pada intramental

4) anak perlu lebih diberi kesempatan mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah diketahuinya dengan pengetahuan prosedural dalam memecahkan masalah.

5) Pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih ke arah kokonstruksi, yaitu mengkonstruksi pengetahuan baru bersama-sama antarsemua pihak yang terlibat di dalamnya.
----------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka

C. Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Rineka Cipta.

Seels, Barbara& Richey, Rita C..(2005). Instructional Technology, the Definition and Domain of the Field, Washington: AECT.

http://www.unm.edu/%7Edevalenz/handouts/sociocult.html , Sociocultural Theory, Yulis Scherba de Valenzuela, (diunduh tgl. 30-10-08)

http://www.patsula.com/usefo/webbasedlearning/tutorial1/learning_theorie..., Applying Learning Theories to Online Instructional Design, Peter J. Patsula (diunduh tgl. 30-10-08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar