Rabu, 06 April 2011

Prinsip Pengembangan Media Pendidikan – Sebuah Pengantar - (ditulis dari http://teknologipendidikan.wordpress.com)

Pengantar
Semakin sadarnya orang akan pentingnya media yang membantu pembelajaran sudah mulai dirasakan. Pengelolaan alat bantu pembelajaran sudah sangat dibutuhkan. Bahkan pertumbuhan ini bersifat gradual. Metamorfosis dari perpustakaan yang menekankan pada penyediaan meda cetak, menjadi penyediaan-permintaan dan pemberian layanan secara multi-sensori dari beragamnya kemampuan individu untuk mencerap informasi, menjadikan pelayanan yang diberikan mutlak wajib bervariatif dan secara luas.Selain itu,dengan semakin meluasnya kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi, serta diketemukannya dinamika proses belajar, maka pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengajaran semakin menuntut dan memperoleh media pendidikan yang bervariasi secara luas pula.

Karena memang belajar adalah proses internal dalam diri manusia maka guru bukanlah merupakan satu-satunya sumber belajar, namun merupakan salah satu komponen dari sumber belajar yang disebut orang. AECT (Associationfor Educational Communication and Technology) membedakan enam jenis sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar, yaitu:

1. Pesan; didalamnya mencakup kurikulum (GBPP) dan mata pelajaran.
2. Orang; didalamnya mencakup guru, orang tua, tenaga ahli, dan sebagainya.
3. Bahan;merupakan suatu format yang digunakan untuk menyimpan pesan pembelajaran,seperti buku paket, buku teks, modul, program video, film, OHT (over head transparency), program slide,alat peraga dan sebagainya (biasa disebut software).
4. Alat; yang dimaksud di sini adalah sarana (piranti, hardware) untuk menyajikan bahan pada butir 3 di atas. Di dalamnya mencakup proyektor OHP, slide, film tape recorder, dan sebagainya.
5. Teknik; yang dimaksud adalah cara (prosedur) yang digunakan orang dalam membeikan pembelajaran guna tercapai tujuan pembelajaran. Di dalamnya mencakup ceramah,permainan/simulasi, tanya jawab, sosiodrama (roleplay), dan sebagainya.
6. Latar (setting) atau lingkungan; termasuk didalamnya adalah pengaturan ruang, pencahayaan, dan sebagainya.

Bahan & alat yang kita kenal sebagai software dan hardware tak lain adalah media pendidikan.

Media Pendidikan
Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium batasan mengenai pengertian media sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran.

Mengapa perlu media dalam pembelajaran? Pertanyaan yang sering muncul mempertanyakan pentingnya media dalam sebuah pembelajaran.Kita harus mengetahui dahulu konsep abstrak dan konkrit dalam pembelajaran,karena proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi,penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata& tulisan) maupun non-verbal, proses ini dinamakan encoding. Penafsiran simbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding.

Ada kalanya penafsiran berhasil, adakalanya tidak.Kegagalan/ketidakberhasilan dalam memahami apa yang didengar, dibaca,dilihat atau diamati. Kegagalan/ketidakberhasilan atau penghambat dalam proses komunikasi dikenal dengan istilah barriers atau noise. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak pemahaman yang diterima.
Lantas dimana fungsi media? Ada baiknya kita melihat diagram cone of learning dari Edgar Dale yang secara jelas memberi penekanan terhadap pentingnya media dalam pendidikan:

cone_of_learning.jpg

Secara umum media mempunyai kegunaan:

1. memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.
2. mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.
3. menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
4. memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya.
5. memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, 1985:

1. Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar
2. Pembelajaran dapat lebih menarik
3. Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar
4. Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek
5. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
6. Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan
7. Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan
8. Peran guru berubahan kearah yang positif

Karakteristik dan kemampuan masing-masing media perlu diperhatikan oleh guru agar mereka dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh media kaset audio, merupakan media auditif yang mengajarkan topik-topik pembelajaran yang bersifat verbal seperti pengucapan (pronounciation) bahasa asing. Untuk pengajaran bahasa asing media ini tergolong tepat karena bila secara langsung diberikan tanpa media sering terjadi ketidaktepatan yang akurat dalam pengucapan pengulangan dan sebagainya. Pembuatan media kaset audio ini termasuk mudah, hanya membutuhkan alat perekam dan narasumber yang dapat berbahasa asing, sementara itu pemanfaatannya menggunakan alat yang sama pula.

Untuk itu perlu dicermarti daftar kelompok media instruksional menurut Anderson, 1976 berikut ini:

KELOMPOK MEDIA


MEDIA INSTRUKSIONAL

1.
Audio

* pita audio (rol atau kaset)
* piringan audio
* radio (rekaman siaran)

2.
Cetak

* buku teks terprogram
* buku pegangan/manual
* buku tugas

3.
Audio – Cetak

* buku latihan dilengkapi kaset
* gambar/poster (dilengkapi audio)

4.
Proyek Visual Diam

* film bingkai (slide)
* film rangkai (berisi pesan verbal)

5.
Proyek Visual Diam dengan Audio

* film bingkai (slide) suara
* film rangkai suara

6.
Visual Gerak

* film bisu dengan judul (caption)

7.
Visual Gerak dengan Audio

* film suara
* video/vcd/dvd

8.
Benda

* benda nyata
* model tirual (mock up)

9.
Komputer

* media berbasis komputer; CAI (Computer Assisted Instructional) & CMI (Computer Managed Instructiona

Klasifikasi & Jenis Media

KLASIFIKASI


JENIS MEDIA
Media yang tidak diproyeksikan: Realia, model, bahan grafis, display
Media yang diproyeksikan: OHT, Slide, Opaque
Media audio: Audio K aset, Audio V ission, aktive Audio Vission
Media video: Video
Media berbasis komputer: Computer A ssisted I nstructional ( Pembelajaran Berbasis Komputer)
Multimedia kit: Perangkat praktikum

Media yang Tidak Diproyeksikan

• Realita : Benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar

• Model : Benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda
sesungguhnya

• Grafis : Gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan (Grafik, Chart, Poster, Kartun)

• Display : Medium yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat dilihat informasi dan pengetahuan di dalamnya.

Media Video

• Kelebihan

– Dapat menstimulir efek gerak

– Dapat diberi suara maupun warna

– Tidak memerlukan keahlian khusus dalam penyajiannya.

– Tidak memerlukan ruangan gelap dalam penyajiannya

• Kekurangan

– Memerlukan peralatan khusus dalam penyajiannya

– Memerlukan tenaga listrik

– Memerlukan keterampilan khusus dan kerja tim dalam pembuatannya

Media Berbasiskan Komputer

Bentuk interaksi yang dapat diaplikasikan

• Praktek dan latihan (drill & practice)

• Tutorial

• Permainan (games)

• Simulasi (simulation)

• Penemuan (discovery)

• Pemecahan Masalah (Problem Solving)

(Heinich,et.al 1996)

Kemajuan media komputer memberikan beberapa kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan teknologi jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan pembelajaran.

Dibalik kehandalan komputer sebagai media pembelajaran terdapat beberapa persoalan yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan awal bagi pengelola pengajaran berbasis komputer:

1. Perangkat keras -dan lunak- yang mahal dan cepat ketinggalan jaman
2. Teknologi yang sangat cepat berubah, sangat memungkinkan perangkat yang dibeli saat ini beberapa tahun kemudian akan ketinggalan zaman.
3. Pembuatan program yang rumit serta dalam pengoperasian awal perlu pendamping guna menjelaskan penggunaannya. Hal ini bisa disiasati dengan pembuatan modul pendamping yang menjelaskan penggunaan dan pengoperasian program.

Pemakaian Komputer dalam Proses Belajar
Sebelumnya perlu dijelaskan istilah CAI dan CMI yang digunakan dalam kegiatan belajar dengan komputer.

CAI; yaitu penggunaan komputer secara langsung dengan siswa untuk menyampaikan isi pelajaran, memberikan latihan dan mengetes kemajuan belajar siswa. CAI dapat sebagai tutor yang menggantikan guru di dalam kelas. CAI juga bermacam-macam bentuknya bergantung kecakapan pendesain dan pengembang pembelajarannya, bisa berbentuk permainan (games), mengajarkan konsep-konsep abstrak yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk visual dan audio yang dianimasikan.

CMI; digunakan sebagai pembantu pengajar menjalankan fungsi administratif yang meningkat, seperti rekapitulasi data prestasi siswa, database buku/e-library, kegiatan administratif sekolah seperti pencatatan pembayaran, kuitansi dll.

Pada masa sekarang CMI & CAI bersamaan fungsinya dan kegiatannya seperti pada e-Learning, dimana urusan administrasi dan kegiatan belajar mengajar sudah masuk dalam satu sistem.

Pemakaian Komputer dalam Kegiatan Pembelajaran
Untuk Tujuan Kognitif
Komputer dapat mengajarkan konsep-konsep aturan, prinsip, langkah-langkah, proses, dan kalkulasi yang kompleks. Komputer juga dapat menjelaskan konsep tersebut dengan dengan sederhana dengan penggabungan visual dan audio yang dianimasikan. Sehingga cocok untuk kegiatan pembelajaran mandiri.

Untuk Tujuan Psikomotor
Dengan bentuk pembelajaran yang dikemas dalam bentuk games & simulasi sangat bagus digunakan untuk menciptakan kondisi dunia kerja. Beberapa contoh program antara lain; simulasi pendaratan pesawat, simulasi perang dalam medan yang paling berat dan sebagainya.

Untuk Tujuan Afektif
Bila program didesain secara tepat dengan memberikan potongan clip suara atau video yang isinya menggugah perasaan, pembelajaran sikap/afektif pun dapat dilakukan mengunakan media komputer.

PUSTAKA

• Green L (1996). Creatives Silde/Tape Programs. Colorado: Libraries Unlimited, Inc. Littleton.

• Hackbarth S. (1996). The Educational Technology Hanbook. New Jersey: Educational Technology Publication, Englewood Cliffs.

• Hannafin, M. J., Peck, L. L. (1998). The Design Development and Education of Instructional Software. New York: Mc. Millan Publ., Co.

• Heinich, R., et. al. (1996) Instructional Media and Technologies for Learning. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

• E. Dale, Audiovisual Method in Teaching, 1969, NY: Dyden Press

• Bloom, S. Benyamin (1956). Taxonomy of Educational Objective The Classification of Educational Goal.

Kamis, 17 Maret 2011

BAGAIMANA MENGAPLIKASIKAN TEORI MULTIPLE INTELLIGENCY DALAM PEMBELAJARAN? (Oleh Nurhadi, M.Pd)

A. PENDAHULUAN

Perkembangan segala bidang kehidupan dewasa ini menunjukan perubahan yang begitu pesat. Hal ini akibat dari efek globalisasi serta perkembangan teknologi informasi yang sangat akseleratif. Kondisi ini jelas telah mengakibatkan perlunya cara-cara baru atau perubahan total kehidupan bangsa dalam menyikapi semua yang terjadi agar dapat tetap survive. Perubahan yang dituntut adalah bidang kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Perubahan bidang kehidupan masyarakat, itu berarti tidak terlepas dengan perubahan manusia sebagai sumber daya atau sumber tenaga (SDM). Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan pendidikan. Dalam pendidikan juga dituntut adanya perubahan paradigma lama yang dulu lebih mementingkan produk hanya diukur dari pengetahuan saja, pada era ini lebih dituntut pada keterampilan.
Pendidikan keterampilan merupakan hal yang sangat penting dalam upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan. Karena banyaknya lulusan SMA yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi memilih untuk bekerja, tentu saja menjadikan sumber daya manusia yang kurang terampil. Untuk itu perlu adanya pelatihan keterampilan yang berhubungan dengan tuntutan pasar (skill market) yang bervariasi sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Dalam pendidikan masyarakat/pelaksanaan pembelajaran, guru atau pendidik dituntut menguasai keterampilan membelajarkan siswanya agar dapat menguasai keterampilan dasar yang kemudian dikembangkan menjadi keterampilan yang lebih tinggi dalam kehidupannya. Guru harus dapat memfasilitasi siswanya dalam memperluas dan memperdalam pengetahuannya, mengembangkan kreativitas, berinovasi, dan berekspresi sehingga memiliki aneka ragam keterampilan. Menurut Santosa S. Hamijoyo dalam Asri Budiningsih (2004: 111), Keterampilan bukan hanya keterampilan kerja apalagi hanya untuk keterampilan itu sendiri. Keterampilan dalam maknanya yang luas diartikan sebagai keterampilan demi kehidupan dan penghidupan yang bermartabat dan sejahtera lahir dan batin.
Proses pembelajaran yang dulu terpusat pada guru menjadi terpusat pada kurikulum, dan akhirnya berpusat pada siswa atau peserta didik dengan hasil belajar ditentukan oleh komunikasi interaktif. Pola pendidikan masal bagi banyak orang yang selama ini dilakukan berubah menjadi individualized instruction for the masses. Manusia diciptakan unik. Tidak seorang pun manusia di dunia ini yang diciptakan sama, meski kembar sekalipun. Inilah yang sejak lama dalam ilmu pendidikan dikenal dengan konsep perbedaan individual (individual differences). Oleh karena itu, sistem klasikal sebenarnya tidak sesuai dengan konsep perbedaan individual, karena sistem klasikal menganggap semua siswa yang ada di kelas itu dalam banyak aspek dipandang homogen (sama).
Berangkat dari beberapa permasalahan pembelajaran tersebut melalui tulisan ini penulis akan mendiskusikan tentang: (1) apa hakekat belajar dan pembelajaran, (2) bagaimana potensi manusia dalam belajar menurut teori Multiple Intelligency, dan (3) bagaimana aplikasi teori Multiple Intelligency dalam pembelajaran.

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Belajar dan Pembelajaran
Setiap manusia memiliki potensi kecerdasan, walaupun dengan kadar yang berbeda-beda serta jenis yang beragam. Belajar adalah usaha untuk menghidupkan secara utuh dan alamiah seluruh kecerdasan yang dimiliki individu. Dari sudut pandang teori humanistik, dasar-dasar teori kecerdasan ganda memang sangat humanis, yang memberi tekanan pada positive regards (pandangan positif), acceptance (dukungan), awareness (kesadaran), self-worth (nilai diri) yang kesemuanya itu bermuara pada aktualisasi diri yang optimal. Psikologi humanistik menekankan pada personal growth (perkembangan individu), sesuai dengan arah dari teori kecerdasan ganda.
Pembelajaran adalah suatu proses membangun/memicu, memperkuat, mencerdaskan, dan menstranfer kecerdasan. Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif (Riyanto Theo: Bruder FIC.or.id © 2002). Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Persoalannya adalah bagaimana menciptakan kondisi kelas bagi tumbuh kembangnya kecerdasan ganda pada diri para siswa, mengingat banyak orang mempersepsi bahwa kelas yang baik adalah kelas yang diam, teratur, tertib, dan taat pada guru. Kelas yang ramai selalu diterima sebagai kelas yang negatif, tidak teratur, walaupun mungkin ramainya kelas tersebut disebabkan karena siswa berdebat, berdiskusi, bereksplorasi, atau kegiatan-kegiatan positif lainnya. Guru-guru yang ada pun seringkali lebih menyukai pada kelas yang tertib, teratur, siswa-siswanya patuh dan tidak kritis.
Pendidikan dan pembelajaran yang mendasarkan pada kecerdasan ganda membuka kesempatan pada para siswanya untuk kritis dan mungkin tidak patuh karena siswa menemukan kebenaran-kebenaran lain dari kebenaran yang dipegang oleh gurunya. Masalahnya, sejauh mana kesiapan para guru dan pengelola pendidikan lainnya dalam rangka mengembangkan sumber daya manusia Indonesia? Dapatkah sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lain memenuhi semua fasilitas untuk kepentingan mengasah kecerdasan ganda yang sesuai dengan gaya belajar secara proporsional? Apakah guru atau tenaga-tenaga kependidikan lain siap mengadakan pembaharuan terhadap dirinya? Semua jawaban terpulang pada mereka yang terlibat dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan,yaitu: (1) Learning to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya, (2) Learning to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan, (3) Learning to live together: ini adalah tanggapan nyata terhadap arus deras spesialisme dan individualisme. Sekolah seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”, (4) Learning to be: dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi, dan (5) Learning throughout life yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti misalnya kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subjek (dan juga objek) pendidikan dan bukannya objek semata-mata.

2. Kecerdasan Manusia Menurut Teori Multiple Intelligences
Teori kecerdasan sebenarnya ada beberapa macam. Beberapa teori yang membahas tentang kecerdasan antara lain teori kecerdasan umum dan teori kecerdasan ganda. Teori kecerdasan umum (general intellegence) memandang bahwa manusia memiliki kemampuan mental umum yang mendasari semua kemampuannya untuk memecahkan permasalahan kognitif (http://istpi.wordpress.com/2008/06/17). Namun pada tulisan ini dibahas khusus tentang teori kecerdasan ganda.
"Multiple Intelligences.” artinya bermacam-macam kecerdasan. Setiap orang memiliki bermacam-macam kecerdasan, tetapi dengan kadar pengembangan yang berbeda. Prof. Howard Gardner seorang ahli riset dari Amerika melontarkan pertanyaan apakah terpikir seorang jenius dalam bidang musik dites Iq nya? Dapatkah seorang Einstein menciptakan lagu seperti Mozart atau melukis seperti Rembrant? Dari inilah Gardner memperkenalkan dan mempromosikan hasil penelitian Project Zero di Amerika yang berkaitan dengan kecerdasan ganda bahwa tidak ada satuan kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang selama ini dianggap ada 7 kecerdasan dan dalam buku lain menjadi 10 kecerdasan.
Kecerdasan menurut Gardner adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu. Pemecahan masalah dilakukan dari hal yang sederhana sampai yang kompleks. Seseorang dikatakan cerdas apabila dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berharga bagi manusia. Pokok-pokok pikiran yang dikemukakan oleh Gardner adalah: (1)Manusia mempunyai kemampuan meningkatkan dan memperkuat kecerdasannya. (2) Kecerdasan selain dapat berubah dapat pula diajarkan kepada orang lain. (3) Kecerdasan merupakan realitas majemuk yang muncul di bagian-bagian yang berbeda pada sistem otak atau pikiran manusia. (4) Pada tingkat tertentu, kecerdasan ini merupakan suatu kesatuan yang utuh..Artinya, dalam memecahkan masalah atau tugas tertentu, seluruh macam kecerdasan manusia bekerja bersama-sama, kompak dan terpadu. Kecerdasan yang kuat cenderung memimpin atau melatih kecerdasan lainnya yang lemah. Dikatakan juga bahwa manusia mempunyai berbagai cara untuk mendekati suatu masalah dan hampir semuanya dipelajari secara alami.
Menurut penelitian Howard Gardner dalam setiap diri manusia ada 8 macam kecerdasan dalam memahami dunia nyata, kemudian oleh tokoh lain dikembangkan menjadi 10 macam kecerdasan, yakni:
1. Kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intelligence): merupakan kemampuan seorang dalam menggunakan kata-kata, baik secara lisan maupun tulisan, untuk mengekspresikan ide-ide atau gagasan-gagasan yang dimilikinya. Kemampuan ini berkaitan dengan pengembangan bahasa secara umum. Orang yang mempunyai kecerdasan linguistic tinggi akan berbahasa lancer, baik dan lengkap. Ia mudah untuk mengetahui dan mengembangkan bahasa dengan mudah mengerti urutan dan arti kata-kata dalam belajar bahasa, menjelaskan,mengajarkan,dan menceritakan pemikirannya pada orang lain. Misalnya: bahasa, puisi, humor, berpikir simbolik,dan sebagainya.
2. Kecerdasan logika/ matematik (logical/mathematical intelligence): merupakan kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan penggunaan bilangan dan logika secara efektif, seperti yang dimiliki matematikawan, saintis, dan programmer. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kepekaan pada pola logika, abstraksi, kategorisasi, dan perhitungan.orang yang mempunyai kecerdasan ini sangat mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi dalam pemikiran serta cara kerja, berpikir ilmiah, termasuk berpikir deduktif dan induktif akan uncul bila ada masalah baru dan berusaha menyelesaikannya.
3. Kecerdasan visual atau ruang (visual/spatial intelligence): adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang visual secara tepat atau berhubungan dengan kemampuan indera pandang dan berimajinasi, seperti yang dimiki oleh para navigator, pemburu, dan arsitek. Yang termasuk dalam kecerdasan ini adalah kemampuan untuk mengenal bentuk dan benda secara tepat, melakukan perubahan bentuk benda dalam pikiran dan mengenali perubahan tersebut, menggambarkan suatu hal/benda dalam pikiran dan mengubahnya dalam bentuk nyata, serta mengungkapkan data dalam suatu grafik.
4. Kecerdasan tubuh/gerak (body/kinesthetic intelligence): merupakan kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan masalah. Orang yang mempunyai kecerdasan ini dengan mudah mengekspresikan dengan gerak tubuh misalnya menari, permainan olah raga, pantomim, mengetik, dan sebagainya.
5. Kecerdasan musikal/ritmik (musical/rhythmic intelligence): merupakan kemampuan untuk mengembangkan dan mengekspresikan, menikmati bentuk-bentuk musik dan suara, peka terhadap ritme, melodi dan intonasi, serta kemapuan memainkan alat musik, menyanyi, menciptakan lagu, menikmati lagu, dan nyayian. Musik dapat menenangkan pikiran, mamacu kembali aktivitas, memperkuat semangat nasional, meningkatkan iman, dan sebagainya.
6. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence): berhubungan dengan kemampuan bekerja sama dan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Mampu mengenali perbedaan perasaan, temperamen, maupun motivasi orang lain. Pada tingkat lebih tinggi kecerdasan ini dapat membaca konteks kehidupan orang lain. Tampak pada guru, konselor, teraphis, politisi, pemuka agama.
7. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence): kemampuan pemahaman terhadap aspek internal, seperti perasaan, proses berpikir, refleksi diri, intuisi, dan spiritual. Identitas diri dan kemampuan transeden/ di luar kemampuan manusia. Kecerdasan ini sifatnya paling individual, dan untuk menggunakan diperlukan semua kecerdasan yang lain.
8. Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence): kecerdasan ini memiliki kemapuan mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat memahami dan menikmati alam dan menggunakannya secara produktif dalam bertani, berburu, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Banyak dimiliki oleh pakar lingkungan, misalnya mengenali perubahan lingkungan dengan cara melihat gejala lain seperti adanya daun patah dapat digunakan untuk memastikan siapa yang baru saja melintas.
9. Kecerdasan spiritual (spiritualist intelligence): dimiliki oleh rohaniwan. Kaitannya manusia dengan Tuhan.
10. Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence): berkembang melalui kontemplasi/renungan dan refleksi diri. Mereka mampu menyadari dan menghayati keberadaan dirinya dan tujuan hidupnya. Banyak dimiliki para filusuf.
Semua kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya berbeda-beda pada masing-masing orang dan pada masing-masing budaya, namun secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya. Melalui teori kecerdasan ganda (multiple intelligences) ia berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak ada manusia yang sangat cerdas dan tidak cerdas untuk seluruh aspek yang ada pada dirinya. Yang ada adalah ada manusia yang memiliki kecerdasan tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya. Mungkin seseorang memiliki kecerdasan tinggi untuk kecerdasan logika-matematika tetapi tidak untuk kecerdasan musik atau kecerdasan body-kinestetik.
Kecerdasan ganda sebenarnya merupakan teori yang bersifat filosofi. Hal ini tampak pada pandangannya terhadap pendidikan/pembelajaran ditinjau dari sudut pandang kecerdasan ganda lebih mengarah pada hakekat dari pendidikan itu sendiri, yaitu yang secara langsung berhubungan dengan eksistensi, kebenaran, dan pengetahuan. Gambarannya tentang pendidikan diwarnai oleh semangat Dewey yang mendasarkan diri pada pendidikan yang bersifat progresif (kemajuan).
Menurut Amstrong (Asri Budiningsih: 2004: 119), kategori-kategori yang digunakan orang adalah kategori musik, pengamatan ruang, dan body-kinestetik Sedangkan menurut Gardner memasukkan kategori-kategori tersebut ke dalam pengertian kecerdasan dan bukannya talenta atau bakat. Banyak orang mengatakan bahwa seseorang itu tidak cerdas tetapi memiliki bakat musik yang hebat, bagi Gardner hal itu tidak benar. Yang benar seseorang itu kurang pada kecerdasan logika, tetapi kecerdasan musikalnya sangat tinggi.
Untuk memberi dasar teorinya Gardner merancang tes tertentu di mana setiap kecerdasan harus dipertimbangkan sebagai inteligensi yang terlatih dan memiliki banyak pengalaman, yang tidak disebut sebagai talenta. Hal yang penting dalam teori kecerdasan ganda adalah: 1) Setiap orang memiliki kecerdasan-kecerdasan itu; 2) Banyak orang dapat mengembangkan masing-masing kecerdasannya sampai pada tingkat optimal; 3) Kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang unik; 4) Ada banyak cara untuk menjadi cerdas.
Menurut beberapa pakar, teori kecerdasan ganda merupakan model kognitif yang menjelaskan bagaimana individu-individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan bagaimana hasilnya. Pendekatan Gardner lebih berorientasi pada bagaimana pikiran manusia mengoperasi atau mengolah, menggunakan, menguasai lingkungan. Dengan pengalaman yang menyenangkan akan menjadikan aktivator bagi perkembangan kecerdasan. Sedangkan pengalaman yang tidak menyenangkan menjadi penghambat bagi perkembangan kecerdasan.
Pendidikan/pembelajaran kecerdasan ganda berorientasi pada pengembangan potensi anak, bukan pada idealisme guru, orang tua ataupun yang lainnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan ganda antara lain, dengan menyediakan hari-hari karier, studi tour, biografi, pembelajaran terprogram, eksperimen, majalah dinding, papan display, membaca buku-buku untuk mengembangkan kecerdasan ganda. Upaya memberdayakan siswa sendiri berupa self-monitoring dan konseling atau tutor sebaya akan sangat efektif untuk mengembangkan kecerdasan ganda.
Upaya-upaya di atas jika dilakukan akan menjadikan siswa mampu membuat penilaian dan keputusan sendiri secara tepat, mandiri tidak bergantung pada orang lain, bertanggung jawab, percaya diri, kreatif, mampu berkolaborasi, dan dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kemampuan-kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh manusia-manusia yang hidup di era ekonomi informasi abad global.

Beberapa kelebihan dan kelemahan teori kecerdasan ganda adalah sebagai berikut. Kelebihannya: (1) bersifat personal/individu sehingga teori ini lebih efektif digunakan untuk mengembangkan individu seseorang dalam proses pembelajaran, (2) membuka kesempatan pada para siswanya untuk kritis, (3) menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Sedangkan kelemahannya: (1) membutuhkan fasilitas yang lengkap, (2) biaya relatif besar, (3) tenaga kependidikan di Indonesia belum sepenuhnya siap melaksanakan teori ini.

3. Aplikasi Teori Kecerdasan Ganda dalam Pembelajaran
Sekolah yang efektif harus dapat mengenali secara dini kecerdasan masing-masing peserta didik, dan kemudian memberikan layanan yang sesuai dengan tipe kecerdasan yang mereka miliki. Peran penting pendidikan dalam mengembangkan kecerdasan minimal ada tiga macam., (1) mengenalinya secara dini tipe kecerdasan setiap peserta didik, (2) memberikan model layanan pendidikan yang sesuai dengan kecerdasan tersebut, (3) mengasah dan mengembangkan kecerdasan semua peserta didik secara optimal.
Dalam proses belajar mengajar, pendidik setidaknya harus memperhatikan kecenderungan kecerdasan potensial masing-masing peserta didik. Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan logis-matematis pasti akan memiliki gaya belajar (learning style) yang berbeda dengan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan linguistik, bahkan dengan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan ragawi-kinestetis. Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan ragawi-kinestetis akan merasa lega jika diberikan kesempatan untuk terjun ke lapangan olahraga atau ke tempat latihan tari-menari. Demikian juga dengan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan yang lainnya.
Pada prinsipnya, ada tiga gaya mengajar yang paling umum dapat diamati oleh pendidik. Pertama, gaya visual (visual learning), yakni gaya belajar yang lebih suka menggunakan gambar-gambar, bahan bacaan yang dapat dilihat. Kedua, tipe audio, yang lebih suka mendengarkan, misalnya mendengarkan ceramah atau penjelasan dari gurunya, atau mendengarkan bahan audio seperti radio kaset, dan sebagainya. Ketiga, tipe taktil, yang lebih suka menggunakan tangan dan badannya. Peserta didik tipe taktil akan tidak suka diminta duduk manis untuk mendengarkan ceramah guru seperti yang disukai oleh peserta didik yang memiliki gaya audio. Peserta didik gaya taktil akan senang untuk diminta untuk mengerjakan pekerjaan tangan atau mengotak-atik mesin perkakas. Demikianlah keragaman potensi kecerdasan ganda dan gaya belajar peserta didik yang harus medapatkan perhatian pendidik secara seimbang, tidak pilih kasih, tidak diskriminatif.
Strategi dasar dalam pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar semua potensi anak dapat berkembang. Strategi dasar pembelajarannya dimulai dengan: (1) membangunkan/memicu kecerdasan, yaitu untuk mengaktifkan indera dan menghidupkan kerja otak (2) Memperkuat kecerdasan, yaitu dengan cara memberi latihan dan memperkuat kemampuan membangunkan kecerdasan. (3) Mengajarkan dengan/untuk kecerdasan, yaitu upaya mengembangkan strukutur pelajaran yang mengacu pada kecerdasan ganda. (4) Mentransfer kecerdasan, yaitu usaha untuk memanfaatkan berbagai cara yang dilatihkan di kelas untuk memahami realitas di luar kelas atau pandangan lingkungan nyata. Lebih lanjut Lazear menjelaskan secara lengkap cara pengolahan masing-masing kecerdasan dan bagian otak yang berkaitan dengan kerjanya masing-masing dalam bukunya berjudul” Seven ways of knowing: Teacching for multiple intelligences”.
Untuk dapat mengadakan reformasi pendidikan, hal-hal berikut perlu mendapatkan pertimbangannya: a) siswa dijadikan subjek pendidikan dan pusat proses pembelajaran; b) teori aktivitas diri dan aktif-positif merupakan dasar dari proses pembelajaran; c) tujuan pendidikan dirumuskan berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan siswa daripada tekanan pada penguasaan materi pelajaran; d) kurikulum sekolah disusun dalam kerangka kegiatan bersama atau kegiatan yang bersifat “proyek”; e) perlunya secara rutin kontrol informal di kelas dan sosialisasi mengajar dan belajar atau kegiatan bersama di tengah-tengah arus deras individualisme; g) hendaknya banyak diterapkan keaktifan berpikir dan berargumentasi daripada sekedar menghafal atau mengingat-ingat saja; h) pendidikan hendaknya mengembangkan kreativitas siswa.

C. PENUTUP
Pendidikan dan pembelajaran yang mendasarkan pada kecerdasan ganda membuka kesempatan pada para siswanya untuk kritis dan mungkin tidak patuh karena siswa menemukan kebenaran-kebenaran lain dari kebenaran yang dipegang oleh gurunya. Semangat untuk mengembanlikan posisi siswa sebagai subjek pembelajaran melahirkan teori kecerdasan ganda, walaupun memang masih memerlukan kajian dan banyak pengalaman lapangan. Namun, setidaknya teori ini telah banyak mengingatkan kepada kita bahwa manusia memang diciptakan unik.
Penerapan konsep kecerdasan ganda dapat diterapkan untuk sekolah-sekolah yang sudah mapan dari segi fasilitas pendidikan dan memiliki guru yang memiliki kompetensi tinggi untuk menerapkannya. Kesadaran dari sekolah dan para pendidik bahwa peserta didik adalah manusia unik, yang telah memiliki potensi kecerdasan ganda. Potensi kecerdasan itulah yang harus memperoleh perhatian dari sekolah dan para pendidik, sehingga penyelenggaraan pendidikan benar-benar mampu mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimilikinya. Bukan mengabaikan, atau bahkan mematikannya. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai potensi tertingginya, baik dalam bidang kognitif, emonsional, dan kemampuan kreatifnya.
Sebagai saran, untuk tahap awal—paling tidak—seorang guru hendaknya memperhatikan tiga hal yaitu: (1) mencermati aspek dan gaya belajar siswa yang beragam dan unik, (2) merancang strategi pembelajaran yang—semaksimal kemampuannya—dapat mengakomodasi keragaman dan keunikan gaya belajar siswa tersebut, dan (3) merubah paradigma “menunggu dan memanfaatkan” menjadi “lebih kreatif menciptakan” ide dan inovasi baik dalam hal strategi maupun media pembelajaran. Pedagang profesional adalah mereka yang cerdas dalam membaca peluang pasar, kreatif menyediakan pilihan agar barang yang disediakannnya sesuai dengan selera dan kebutuhan konsumen yang sangat beragam. Apa bedanya dengan tugas seorang guru dalam melayani siswa?
-----------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Riyanto, Theo. 2002. Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi. Jakarta: Grasindo.

http://istpi.wordpress.com/2008/06/17

http://www.lazuardi.web.id/2008

http://pksrorotan.multiply.com/reviews/item/5

Selasa, 15 Maret 2011

Anda Ingin Mengembangkan Media Pembelajaran?

Edisi ini khusus mengangkat tulisan dari Zulkifli Paputungan dan Yudin Daud tentang "Pengembangan Media Pembelajaran". Tulisan ini merupakan naskah lengkap yang pernah dimuat di http://kiflipaputungan.wordpress.com. Saya selaku teknolog pembelajaran merasa berkewajiban--melalui blog ini--turut menyebarkan hasil penelitian atau kajian ilmiah tentang teknologi pembelajaran agar isi pesannya dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi para guru di Indonesia. Guru, siswa, dan pesan pembelajaran selalu dihantarkan oleh komponen media. Nah bagaimana "kaifiyah" mengembangkan media pembelajaran, mulai dari penyusunan rancangan, penulisan naskah, produksi media dan evaluasi program media, maka berikut ini paparan singkat dari penulis tentang hal itu. Semoga bermanfaat.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Secara umum, media pendidikan mempunyai kegunaan untuk mengatasi berbagai hambatan, antara lain: hambatan komunikasi, keterbatasan ruang kelas, sikap siswa yang pasif, pengamatan siswa yang kurang seragam, sifat objek belajar yang kurang khusus sehingga tidak memungkinkan dipelajari tanpa media, tempat belajar yang terpencil dan sebagainya.
Media pembelajaran setiap tahun selalu mengalami perkembangan, karena masing–masing media itu mempunyai kelemahan, berdasarkan penggunaannya perlu diadakan penemuan media baru dan pemanfaatan media yang telah diperbaharui. Karena peserta didik cepat merasakan kebosanan, saat menerima pelajaran, sebab dengan media yang kurang menarik akan bersifat verbalistik, maka diadakannya perbaikan media guna menunjang proses belajar mengajar. Untuk mencapai tujuan kurikulum pembelajaran pada proses belajar mengajar maka perlu didukung media dan bahan ajar yang baik yaitu bahan ajar yang mampu menarik minat siswa, sesuai dengan zaman dan tidak menyimpang dari kurikulum.[1]
Kadang – kadang siswa tidak tertarik mempelajari sesuatu materi karena materi pelajaran tersebut membosankan. Untuk menghindari gejala itu guru harus memilih dan mengorganisir materi pelajaran tersebut sedemikian rupa, sehingga merangsang dan menantang siswa untuk mempelajarinya. Dalam hal ini kemampuan profesional guru dituntut, disamping pengalaman. Guru harus kreaktif dalam menyajikan pelajaran yang merangsang dan menantang dengan jalan melakukan pengembangan media pembelajaran, agar siswa lebih termotivasi untuk belajar dan agar tujuan serta proses belajar mengajar berjalan dengan baik dan sempurna.
2. Rumusan Masalah
Dengan beberapa alasan diatas, penulis merasa perlu untuk membuat sebuah karya ilmiah yang dalam kesempatan ini sekaligus akan di presentasikan pada mata kuliah media dan desain pembelajaran dengan tujuan adanya pengembangan dalam media pembelajaran disekolah, khususnya pada pembelajaran bahasa arab. Pembahasan ini juga sekaligus melahirkan sebuah topik inti yang dibahas dalam karya ilmiah ini, yaitu: Pengembangan Media Pembelajaran meliputi (penyusunan rancangan, penulisan naskah, produksi media dan evaluasi program media).

B. PEMBAHASAN
Untuk melakukan pengembangan media pembelajaran Prosedur pengembangan adalah langkah-langkah prosedural yang harus ditempuh oleh pengembang dalam membentuk produk, pengembang tinggal mengikuti langkah-langkah seperti yang terlihat dalam model pengembangan. Prosedur pengembangan berguna untuk lebih memperjelas tentang bagaimana langkah prosedural yang harus dilalui agar sampai ke produk yang dispesifikasikan.
Prosedur pengembangan media audio visual VCD, berdasarkan model pengembangan[2], sebagai berikut :
1. TAHAP PENYUSUNAN RANCANGAN
Dalam tahapan pembuatan rancangan ini, dilakukan perancangan terhadap isi atau garis besar isi program media yang terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1. Penetapan Topik
Topik disebut juga pokok bahasan. Pokok bahasan menjadi dasar pengajaran dan menggambarkan ruang lingkupnya.Topik ditentukan berdasarkan kurikulum yang digunakan guru dalam mengajar.
2. Merumuskan Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional dirumuskan setelah topik ditentukan. Dalam tujuan instruksional disebutkan kemampuan, pengetahuan dan sikap yang diharapkan dimiliki oleh sasaran didik setelah berperan serta dalam proses belajar dengan media.
3. Merumuskan Pokok – Pokok Instruksional
Pokok – pokok materi instruksional merupakan perincian atau penjabaran lebih lanjut dari tujuan yang telah dirumuskan.[3]
4. Analisis Kebutuhan dan Karakteristik Siswa
Dalam proses belajar mengajar yang dimaksud dengan kebutuhan adalah kesenjangan antara kemampuan, keterampilan, dan sikap siswa yang kita inginkan dengan kemampuan, keterampilan, dan sikap siswa yang mereka miliki sekarang. Bila yang kita inginkan, misalnya, siswa dapat menguasai 1000 kosa kata bahasa Inggris, sedangkan saat ini mereka hanya menguasai 200 kata, ada kesemjangan 800 kata. Dalam hal ini terdapat kebutuhan untuk mengajar 800 kata Bahasa Inggris kepada siswa itu.
Bila yang kita inginkan ialah siswa dapat menjumlahkan, mengurangi, mengalikan, dan membagi, sedangkan pada saat ini mereka baru dapat menjumlahkan saja, kebutuhan pembelajaran itu ialah kemampuan dan keterampilan dalam mengurangi, mengalikan dan membagi. Bila yang kita inginkan ialah siswa dapat bersikap bersih dan menghargai kebersihan, sedangkan pada saat ini mereka masi suka membuang sampah sembarangan, belum bersedia mandi dan gosok gigi atas kemauan sendiri, tidak merasa risih memakai baju kotor dan sebagainya, jelas sekali masi terdapat kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan kenyataan dengan ada saat ini. Dari kesenjangan itu dapat diketahui apa yang diperlukan atau dibutuhkan siswa.
Jika kita membuat program media tentu saja kita berharap program yang kita buat itu akan digunakan atau dimanfaatkan oleh siswa. Program tersebut hanya akan digunakan kalau program itu memang akan diperlukan. Jadi, sebelum kita membuat sesuatu program media tentulah kita harus bertanya apakah program itu diperlukan? Untuk dapat menjawab pertanyaan itu kita harus bertanya kemampuan, atau keterampilan, sikap apakah yang ingin dimiliki siswa? Mengenai kemampuan, keterampilan atau sikap yang diinginkan itu dapat diketahui dengan berbagai cara.
Mungkin sesuatu kemampuan atau keterampilan yang diinginkan untuk dimiliki oleh para calon sekretaris. Apa yang diinginkan itu dapat juga merupakan tuntutan lingkungan, misalnya norma masyarakat. Seorang pengendara mobil dituntut untuk dimiliki setiap calon pengemudi calon pengemudi mobil sebelum memperoleh SIM maupun konfensi yang berlaku di masyarakat setempat.
Apa yang diinginkan itu dapat juga dilihat dari tuntutan kurikulum. Siswa kelas enam SD pada akhir tahun ajaran dituntut untuk memiliki sejumlah kemampuan, dan sikap yang telah dirumuskan dalam kurikulum. Pada awal tahun ajaran tentu terdapat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang dituntut oleh kurikulum itu dengan apa yang telah dimiliki siswa. Kesemjangan itulah yang merupakan kebutuhan siswa kelas enam itu yang merupakan acuan bagi guru dalam menyusun bahan ajaran yang perlu diberikan kepada siswa.
5. Perumusan tujuan
Tujuan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kita. Tujuan dapat memberi arah tindakan yang kita lakukan. Tujuan ini juga dapat dijadikan acuan ketika kita mengukur apakah tindakan kita betul atau salah, ataukah tindakan kita berhasil atau gagal.
6. Pengembangan Materi Pembelajaran
Ibaratkan orang mau bepergian, setelah tempat yang akan dituju jelas langkah berikut yangperlu dipikirkan ialah bagaimana caranya supaya sampai ke tempat yang akan dituju itu? Dalam proses belajar mengajar ini hal serupa itu harus dilakukan pula. Setelah tujuan instruksional jelas, setelah kita mengetahui kemampuan dan keterampilan apa yang diharapkan dapat dilakukan siswa, kita harus memikirkan bagaimana caranya supaya siswa memiliki kemampuan dan keterampilan tersebut. Bahan pelajaran apa yang harus dipelajari atau pengalaman belajar apa yang harus dilakukan siswa supaya tujuan instruksional itu tercapai?
Untuk dapat mengembangkan bahan instruksional yang dapat mendukung tercapainya tujuan itu, tujuan yang telah dirumuskan tadi harus dianalisis lebih lanjut. Seperti halnya pada waktu kita merumuskan tujuan khusus kita bertanya kemampuan apa yang harus dimiliki siswa sebelum ia memiliki kemampuan apa yang dituntut oleh tujuan umum itu, demikian pulalah yang harus kita lakukan dalam kita mengembangkan bahan yang harus dipelajari siswa. Setiap tujuan instruksional khusus harus kita analisis.
Kepada setiap tujuan itu pertanyaan yang harus kita ajukan: kemampuan apa yang harus dimiliki siswa sebelum siswa memiliki kemampuan yang dituntut oleh tujuan khusus ini? Dengan cara ini kita akan mendapatkan sub kemampuan dan sub keterampilan, serta sub-sub kemampuan dan sub-sub keterampilan. Bila semua sub kemampuan dan keterampilan serta sub-sub kemampuan dan keterampilan telah kita identifikasi kita akan memperoleh bahan instruksional terperinci yang mendukung tercapainya tujuan itu.
7. Perumusan Alat Pengukur Keberhasilan
Dalam setiap kegiatan instruksional, kita perlu mengkaji apakah tujuan instruksional dapat dicapai atau tidak pada akhir kegiatan instruksional itu. Untuk keperluan tersebut kita perlu mempunyai alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa.
Alat pengukur keberhasilan siswa ini perlu dirancang dengan seksama dan seyogyanya dikembangkan sebelum naskah program media ditulis atau sebelum kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. Alat ini berupa tes, penugasan, ataupun daftar cek perilaku.
Alat pengukur keberhasilan harus dikembangkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan pokok-pokok materi pembelajaran yang akan disajikan kepada siswa. Hal yang diukur atau yang dievaluasi ialah kemampuan, keterampilan atau sikap siswa yang dinyatakan dalam tujuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan instruksional itu.

2. PENULISAN NASKAH
1. Pengertian
Dalam tahapan penulisan naskah, format rancangan isi program media ini dituangkan atau dialihkan ke dalam naskah. Ada beberapa langkah dalam pembuatan naskah.[4] langkah pembuatan naskah mencakup :
1) Menulis rasional dari produk yang dibuat.
2) Membuat synopsis.
3) Menetapkan identitas program.
4) Merumuskan Tujuan Pembelajaran Khusus dan Tujuan
5) Pembelajaran Umum.
6) Mengidentifikasi audience.
7) Mengidentifikasi garis-garis besar program pembelajaran, GBIP terdiri dari Produk Media, Mata Pelajaran, Sasaran, Durasi, Topik,Tujuan Umum, Tujuan Khusus, Pokok-Pokok Mater dan Sumber.
8) Menetapkan treatment.
9) Membuat naskah, naskah terdiri dari spesifikasi program.
Dalam tahap ini pokok-pokok materi instruksional yang telah diuraikan pada bab terdahulu perlu diuraikan lebih lanjut untuk kemudian disajikan kepada siswa. Penyajian ini dapat disampaikan melalui media yang sesuai atau yang dipilih. Supaya materi instruksional tersebut dapat disampaikan melalui media itu, materi tersebut perlu dituangkan dalam tulisan dan atau gambar yang akan kita sebut naskah program media.[5]
Naskah program media bermacam-macam. Tiap-tiap jenis mempunyai bentuk naskah yang berbeda. Tetapi pada dasarnya, maksud dalam naskah tersebut sama yaitu sebagai penuntun ketika kita memproduksi program media itu. Artinya, naskah tersebut menjadi penuntun kita dalam mangambil gambar dan merekam suara. Naskah ini berisi urutan gambar dan grafis yang perlu diambil oleh kamera serta bunyi dan suara yang harus direkam.
Pada umumnya, lembaran naskah dibagi menjadi dua kolom. Pada naskah media audio (radio dan kaset) kolom sebelah kiri merupakan seperempat bagian halaman dan pada kolom ini dituliskan nama pelaku, dan jenis suara yang harus direkam. Kolom sebelah kanan berisi narasi atau percakapan yang harus dibaca para pelaku, nama lagu, dan suara-suara yang harus direkam.
Pada naskah film bingkai, film, dan video/tv lembaran naskah dibagi dua sama lebar. Kolom sebelah kiri dicantumkan urutan gambar yang harus diambil kamera serta penjelasan tentang sudut pengambilan gambar itu.pada kolom sebelah kiri itu akan dapat dibaca apakah gambar harus diambil dalam close up, medium shot, long shot, dan sebagainya. Kalau gambar harus diambil dari kiri bergerak ke kanan, atau dari bawah ke atas, atau dari jauh mendekat, dan sebaliknya, hal-hal yang seperti itu dijelaskan juga di kolom sebelah kiri. Di kolom sebelah kanan dituliskan narasi atau percakapan yang harus dibaca para pelaku, serta musik dan suara-suara yang harus direkam.
Dalam menuliskan naskah semua informasi yang tidak akan disuarakan (dibaca bersuara) oleh pelaku harus ditulis dengan huruf besar sementara itu, narasi dan percakapan yang akan dibaca oleh pelaku ditulis dengan huruf kecil. Uraian lebih lanjut tentang naskah untuk masing-masing media akan diberikan kemudian.
1. Treatment
Sebelum naskah ditulis, kita harus menuliskan treatmentnya dulu. Treatment adalah uraian berbentuk esai yang menggambarkan alur penyajian program kita. Dengan membaca treatment ini kita akan dapat mempunyai gambaran tentang urutan visual yang akan nampak pada media serta narasi atau percakapan yang akan menyertai gambar itu. Bila musik dan efek suara akan digunakan, hal tersebut akan tergambar juga dalam treatment ini.[6]
Sebuah treatment yang baik selain memberi gambaran tentang urutan adegan juga memberikan gambaran suasana atau mood dari program media itu. Treatment ini biasanya digunakan oleh pemesan naskah dan penulis naskah dalam mencari kesesuaian pendapat mengenai alur penyajian program media yang akan diproduksi. Setelah treatment disetujui, treatment tersebut digunakan sebagai pedoman dalam pengembangan naskah selanjutnya.
1) Penulisan Naskah Audio
Media audio adalah sebuah media yang hanya mengandalkan bunyi dan suara untuk menyampaikan informasi dan pesan. Program audio dapat menjadi indah dan menarik karena program ini dapat menimbulkan daya fantasi pada pendengarnya. Karena itu, sesuatu program audio akan sangat efektif bila dengan menunggankan bunyi dan suara kita dapat merangsang pendengar untuk menggunakan daya imajinasinya sehingga ia dapat memvisualkan pesan-pesan yang ingin kita sampaikan. Media audio ini meliputi radio, kaset audio, dan laboratorium bahasa.
Berikut ini beberapa petunjuk yang perlu kita ikuti bila kita menulis naskah program media audio.
1. Bahasa.
Bahasa yang digunakan dalam media audio adalah bahasa percakapan, bukan bahasa tulis.
2. Musik dalam program audio.
Sesuai penjelasan sebelumnya, program audio hanya mengandalkan kepada bunyi dan suara saja. Agar pendengar tidak bosan mendengar program kita dan program kita tidak terasa kering, kita perlu menggunakan musik dalam program kita. Fungsi musik yang utama dalam hal ini ialah menciptakan suasana. Karena itu, musik perlu dipilih dengan hati-hati. Bila program bersuasana gembira, misalnya, diiringi oleh musik yang bersuasana sedih, tentu akan terasa sangat janggal.
3. Keterbatasan daya konsentrasi.
Berdasarkan penelitian yang diadakan, daya konsentrasi orang dewasa untuk mendengarkan berkisar antara 25 s/d 45 menit, sedangkan pada anak-anak hanya 15 s/d 25 menit.
4. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam naskah.
Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam penulisan naskah audio diuraikan di bawah ini.
2) Penulisan Naskah Film Bingkai
Berbeda dengan program audio, pada film bingkai pesan dapat disampaikan melalui dua saluran, yaitu audio dan visual. Karena itu, menulis naskah program bingkai tidak diperlukan narasi atau percakapan yang panjang-panjang seperti dalam program audio. Informasi yang sudah dapat diberikan oleh visual tidak perlu diberikan lagi oleh narasinya.
3) Penulisan Naskah Film dan Video
Penulisan naskah secara teoritis merupakan komponen dari pengembangan media. Secara lebih praktis, hal tersebut merupakan bagian dari serangkaian kegiatan produksi media melalui tahap-tahap pe-rencanaan dan desain, pengembangan, serta evaluasi.
Seperti halnya penulisan pada umumnya, penulisan naskah film maupun video juga dimulai dengan identifikasi topik atau gagasan. Dalam pengembangan instruksional, topik maupun gagasan dirumuskan dalam tujuan khusus kegiatan instruksional atau pembelajaran. Konsep gagasan, topik, maupun tujuan yang khusus kemudian dikembangkan menjadi naskah dan diproduksi menjadi program film atau video. Dalam praktik, rangkaian kegiatan untuk mewujudkan gagasan menjadi program film atau video ini secara bertahap dilakukan melalui pembuatan sinopsis, treatment, storyboard atau perangkat gambar cerita, skrip atau naskah program dan skenario atau naskah produksi. Naskah merupakan persyaratan yang harus ada untuk suatu program yang terkontrol isi dan bentuk sajiannya ( bandingkan dengan program ‘live’ yang diambil begitu saja apa adanya meskipun dapat direka rambu-rambu pengendaliannya).
Di bawah ini kita bahas satu per satu tahap-tahap kegiatan tersebut.
1. Sinopsis.
Dalam praktik, sinopsis diperlukan untuk memberikan gambaran secara singkat dan padat tentang tema atau pokok materi yang akan digarap. Tujuan utamanya adalah mempermudah pemesan menangkap konsepnya, mempertimbangkan kesesuaian gagasan dengan tujuan yang ingin dicapainya, dan menentukan persetujuannya.
2. Treatment.
Agak berbeda dengan sinopsis, treatment mencoba memberikan uraian ringkas secara deskriptif (bukan tematis) tentang bagaimana suatu episode cerita atau rangkaian peristiwa instruksional (instructional events) nantinya akan dianggap sebagai ilustrasi perbandingan, di bawah ini akan dapat Anda ikuti beda antara suatu sinopsis dan treatment yang dikembangkan dari tema yang sama, yaitu “terdampar di pulau karang”.
sinopsis
“Episode menggambarkan suatu kecelakaan kapal ‘Impian’. Dua orang, seorang kakek dan cucu gadisnya berhasil menyelamatkan diri kepantai pulau karang”.
treatment
“ Cerita diawali dengan fajar menyingsing di ufuk timur sebuah pulau karang yang sepi dan gersang. Di kejauhan masi tampak samar-samar bingkai kapal “Impian” yang terdampar. Dua sosok tubuh kelihatan bergelantungan pada sebilah papan yan terapung-apung tidak jauh dari tempat kejadian. Dengan susah paya mereka mulai nerenang-renag menempuh gelombang dan berjalan tersuruk-suruk menuju pantai pulau karang yang gersang diiringi gemericiknya riak gelombang air laut yang kini telah mulai redah, dan seterusnya”.
3. Storyboard.
Rangkaian kejadian seperti dilukiskan dalam treatment tersebut kemudian divisualkan dalam perangkat gambar atau sketsa sederhana pada waktu berukuran lebih kurang 8 x 12 cm. Tujuan pembuatan storyboard antara lain adalah untuk melihat apakah tata urutan peristiwa yang akan divisualkan telah sesuai dengan garis cerita (plot) maupun sekuens belajarnya. Di samping itu juga untuk melihat kesinambungan (kontinuitas) arus ceritanya sudah lancar. Storyboard juga dapat dipergunakan sebagai momen-momen pengambilan (shots) menggantikan apa yang lazim disebut “shooting Breakdown”.
4. Skrip atau naskah program
Keterangan-keterangan yang didapat dari hasil eksperimen coba-coba dengan storyboard tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk skirp atau naskah program menurut tata urutan yang dianggap sudah benar. Dalam perbuatan program film maupun video, skrip atau naskah program merupakan daftar rangkaian peristiwa yang akan dipaparkan gambar demi gambar dan penuturan demi penuturan menuju tujuan perilaku belajar yang ingin dicapai. Format penulisan skrip untuk program film dan program video pada prinsipnya sama, yaitu dalam bentuk skontro atau halaman berkolom dua; sebelah kira untuk menampilkan bentuk visualisasinya dan sebelah kanan untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan suara termasuk dialog, narasi, maupun efek suara. Tujuan utama suatu skrip atau naskah program adalah sebagai peta atau bahan pedoman bagi sutradara dalan mengendalikan penggarapansubstansi ke dalam suatu program. Karena itu skirsp yang baik akan dilengkapi dengan tujuan, sasaran, sinopsis, treatment, dan bila berperang yang terlibat di dalamnya.
5. Skenario
Bila di atas disebutkan bahwa skrip terutama ditujukan untuk bahan pegangan sutradara, skenariolebih merupakan petunjuk operasional dalam pelaksanaan produksi atau pembuatan programnya. Skenario sangat bermanfaat bagi teknisi dan kerabat produksi yang akan melaksanakannya dengan tanggung jawab teknis operasional. Dalam skenario inilah beda antara film dan video akan tanpak karena video mempunyai efek visual tertentu yang tidak dimiliki oleh media film, misalnya dissolve, wipe, superimpose, split image, dan sebagainya. Pengaruh lain yang juga tercermin dalam penulisan skenario adalah beda dalam pendekatannya. Bila dalam pendekatan filmis perpindahan umumnya bersifat ‘cut-to-cut’ dan pengambilannya boleh meloncat-loncat dengan pengelompokkan menurut keadaan waktu, cuaca, lokasi maupun sifatnya (di dalam atau di luar gedung/studio), perpindahan dalam pendekatan video transisional dan bersifat sekuensial. Dengan singkat, skenario untuk program video mempergunakan lebih banyak istilah-istilah atau “bahasa” produksi dan petunjuk-petunjuk teknis operasional bagi kerabat dan teknisi produksi.[7]
3. PRODUKSI MEDIA
a) Pengertian
Sebelumnya sudah disinggung bahwa naskah itu berguna untuk dijadikan penuntun dalam produksi. Naskah adalah rancangan produksi. Dengan naskah itu dipandu harus mengambil gambar, merekam suara, memadukan gambar dan suara, memasukkan musik dan FX, serta menyunting gambar dan suar itu supaya alur penyajiannya sesuai dengan naskah, menarik dan mudah diterima oleh sasaran. Semua kegiatan itu disebut kegiatan produksi.
Kegiatan produksi ini memiliki tiga kelompok personil yang terlibat, yaitu sutradara atau pemimpin produksi, kerabat kerja, dan pemain. Ketiga kelompok personil itu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda namun semuanya menuju satu tujuan yaitu menghasilkan program media yang mempunyai mutu teknis yang baik.
Program produksi memiliki tingkat kerumitan yang berbeda antara media yang satu dengan media yang lainnya. Produksi audio dapat dilakukan oleh seorang sutradara dengan dibantu dua orang teknisi dan beberapa orang pemain. Dalam produksi film bingkai jumlah kerabat kerja yang diperlukan sudah lebih banyak, kecuali lerabat kerja untuk merekan audionya sutradara perlu dibantu pula oleh juru kamera, dan grafik artis. Pada produksi TV/Video dan film jumlah kerabat kerja tersebut sudah menjadi lebih kompleks. Selain itu, juru audio dan grafik artis diperlukan juga juru kamera lebih dari seorang, juru lampu, juru rias, pengatur setting, juru perlengkapan dan juru catat. Karena kompleksnya pekerjaan, sutradara perlu dibantu oleh pembantu sutradara.
b) Produksi Audio
(1) Studio Produksi
Program audio direkam di dalam suatu studio produksi atau sering juga disebut studio rekaman. Studio ini terdiri dari dua ruangan, yaitu ruang kontrol dan studionya, yang ke duanya dibatasi oleh dinding berjendela kaca sehingga orang yang ada dalam dua ruangan itu dapat saling melihat.[8]
Ruang kontrol dilengkapi alat rekaman. Ruangan ini biasanya terdiri dari alat rekaman audio, alat pemutar audio, alat pemadu suara, dan tombol pengatur suara. Di samping itu, ruangan tersebut memiliki alat untuk penyunting suara.
Ruang studio adalah sebuah ruangan yang kedap suara. Ruang ini dilengkapi dengan berbagai mikropon, tempat untuk duduk pemain, alat musik, misalnya piano, perlengkapan untuk membuat FX, dan pengeras suara. Kedua ruangan tersebut dihubungkan dengan interkom, yang memudahkan orang di ruang kontrol berkomunikasi dengan orang-orang di dalam studio.
c) Produksi film bingkai
(1) Jenisnya
Produksi program film bingkai memiliki dua jenis kegiatan produksi yang dapat dilakukan secara berurutan.
1. Produksi visual
Pada bagian ini produksi visual yang meliputi gambar-gambar grafis dan caption serta gambar-gambar yang dapat diambil dari benda sesungguhnya atau modelnya diproduksi semuanya.
2. Produksi audio.
Produksi audio yaitu narasi dan musik serta sound effect.cara memproduksinya sama dengan memproduksi program audio yang telah diuraikan di bagian terdahulu. Bahkan biasanya lebih sederhana. Hal yang perlu diperhatikan ialah narasi dan musik serta FX-nya harus sesuai dengan visualisasinya.
3. Alat yang Diperlukan, antara lain:
• Kamera
• Film yang digunakan
• Tiang penyagga untuk mengkopi
• Alat perekam audio.
4. EVALUASI PROGRAM MEDIA
Menurut Sujana[9], evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau harga atau nilai berdasarkan kriteria tertentu. Sedangkan menurut Joesmani (1998:19) [10]mengemukan evaluasi adalah suatu proses menentukan sampai seberapa jauh kemampuan yang dapat dicapai oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Media apa pun yang dibuat, seperti kaset audio film bingkai, film rangkai, transparansi OPH, film, video ataupun gambar, dan permainan/simulasi perlu dinilai terlebih dahulu sebelum dipakai secara luas. Penilaian (evaluasi) ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah media yang dibuat tersebut dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan atau tidak. Hal ini penting untuk diingat dan dilakukan karena banyak orang beranggapan bahwa sekali membuat media, pesti seratus persen ditanggung baik. Anggapan iti sendiri tidaklah keliru. Hal itu karena sebagai pengembang media secara tidak langsung, telah diturunkan hipotesis bahwa media yang dibuat tersebut dapat memberikan hasil belajar yang lebih baik. Hipotesis tersebut perlu dibuktikan dengan mengujicobakannya ke sasaran yang dimaksud.
a) Macam Evaluasi
Ada dua macam bentuk pengujicobaan media yang dikenal, yaitu evaluasi formatis dan evaluasi sumatif. Berikut ini dua bentuk pengujicobaan tersebut.
Evaluasi formatif adalah proses yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang evektifitas dan evisiensi bahan-bahan pembelajaran (termasuk ke dalamnya media). Tujuannya untuk mencapai ujuan yang telah ditetapkan. Data-data tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan media yang bersangkutan agar lebih efektif dan efisien.
Dalam bentuk finalnya, setelah diperbaiki dan disempurnakan, perlu dikumpulkan data. Hal itu untuk menentukan apakah media yang dibuat patut digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Di samping itu, untuk menentukan apakah media tersebut benar-benar efektif seperti, yang dilaporkan. Jenis evaluasi ini disebut evaluasi sumatif.
Kegiatan evaluasi dalam program pengembangan medis pendidikan akan dititikberatkan pada kegiatan evaluasi formatif. Adanya komponen evaluasi formatif dalam proses pengembangan media pendidikan, membedakan prosedur empiris ini dari pendekatan-pendekatan filosofis dan teoritis. Efektifitas dan efisiensi media yang dikembangkan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi benar-benar telah dibuktikan dilapangan.[11]
b) Tahap Evaluasi
Ada tiga tahapan evaluasi formatif, yaitu efaluasi lawan setu (one to one), evaluasi kelompok kecil (small group evaluation), dan evaluasi lapangan (field evaluation).
(1) Evaluasi satu lawan satu
Pada tahap ini pilihan dua siswa atau lebih yang dapat mewakili populasi target dari mereka yang dibuat. Sajikan media tersebut kepada mereka secara individual. Kalau media itu didisain untuk belajar mandiri, biarkan siswa mempelajarinya, sementara Anda mengamatinya. Kedua orang siswa yang telah dipilih tersebut, hendaknya satu orang dari populasi target yang kemampuan umumnya sedikit dibawah rata-rata dan satu orang lagi diatas rata-rata.
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut.
1. Jelaskan kepada siswa bahwa Anda sedang merancang suatu media baru dan ingin mengetahui bagaimana reaksi siswa terhadap media yang sedang dibuat.
2. Katakan kepada siswa bahwa apabila nanti siswa berbuat salah, hal itu bukanlah karena kekurangan dari siswa, tetapi karena kekurangsempurnaan nedia tersebut, sehingga perlu diperbaiki.
3. Usahakan agar siswa bersikap rileks dan bebas mengemukakan pendapatnya tentang media tersebut.
4. Berikan tes awal untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan pengetahuan siswa terhadap topik yang dimediakan.
5. Sajikan media dan catat berapa lama waktu yang Anda butuhkan, termasuk siswa untuk menyajikan/mempelajari media tersebut. Catat pula bagaimana reaksi siswa dan bagian-bagian yang sulit dipahami; apakah contoh-contohnya, penjelasannya, petunjuk-petunjuknya, ataukah yang lain.
6. Berikan teks untuk mengukur keberhasilan media tersebut (post test).
7. Analisis informasi yang terkumpul.
Berapa informasi yang dapat diperoleh melalui kegiatan ini antara lain kesalahan pemilihan kata atau uraian-uraian yang tak jelas, kesalahan dalam memilih lambang-lambang visual, kurangnya contoh, terlalu banyak atau sedikitnya materi, urutan penyajian yang keliru, pertanyaan atau petunjuk kurang jelas, tujuan tak sesuai dengan materi, dan sebagainya.
Jumlah dua orang untuk kegiatan ini adalah jumlah minimal. Setelah selesai, dapat diujicobakan kepada beberapa orang siswa yang lain dengan prosedur yang sama. Selain itu, dapat juga diujicobakan kepada ahli bidang studi (content expert). Mereka sering kali memberikan umpan balik yang bermanfaat. Atas dasar data atau informasi dari kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya revisi dilakukan sebelum media dicobakan ke kelompok kecil.
1. Evaluasi Kelompok Kecil
Pada tahap ini, media perlu dicobakan kepada 10-20 orang siswa yang dapat mewakili populasi target. Kalau media tersebut dibuat untuk siswa kelas 1 SMP, pilihan 10-20 orang siswa dari kelas 1 SMP. Mengapa harus dalam jumlah tersebut? Hal itu disebabkan kalau kurang dari 10 data yang diperoleh kurang dapat menggambarkan populasi target. Sebaliknya, jika lebih dari dua puluh data atau informasi yang diperoleh melebihi yang diperlukan. Akibatnya kurang bermanfaat untuk dianalisis dalam evaluasi kelompok kecil.
Siswa yang dipilih dalam kegiatan ini hendaknya mencerminkan karakteristik populasi. Usahakan sampel etrsebut terdiri dari siswa-siswa yang kurang pandai, sedang, dan pandai, laki-laki dan perempuan; berbagai usia dan latar belakang.
Prosedur yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut.
1. Jelaskan bahwa media tersebut berada pada tahap formatif dan memerlukan umpan balik untuk menyempurnakannya.
2. Berikan tes awal (pretest) untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan siswa tentang topik yang dimediakan.
3. Sajikan media atau minta kepada siswa untuk mempelajari media tersebut.
4. Catat waktu yang diperlukan dan semua bentuk umpan balik (langsung ataupun tak langsung) selama penyajian media.
5. Berikan tes untuk mengetahui sejauh mana tujuan dapat tercapai (post test).
6. Bagikan kuesioner dan minta siswa untuk mengisinya. Apabila mungkin, adakan diskusi yang mendalam dengan beberapa siswa. Beberapa pertanyaan yang perlu didiskusikan antara lain: a). menarik tidaknya media tersebut, apa sebabnya b). mengerti tidaknya siswa akan pesan yang disampaikan c). konsistensi tujuan dan materi program; cukup tidaknya atau jelas tidaknya latihan dan contoh yang diberikan. Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah ditanyakan lewat kuesioner, informasi yang lebih detail dan jauh dapat dicari lewat diskusi ini.
7. Analisis data yang terkumpul.
1. Evaluasi Lapangan
Evaluasi lapangan atau field evaluetion adalah tahap akhir dari evaluasi formatif yang perlu dilakukan. Usahakan memperoleh situasi yang semirip mungkin dengan situasi sebenarnya. Setelah melalui dua tahap evaluasi di atas tentulah media yang dibuat sudah mendekati kesempurnaan. Namun dengan itu masi harus dibuktikan. Melalui evaluasi lapangan inilah, kebolehan media yang kita buat itu diuji. Pilih sekitar tiga puluh orang siswa dengan berbagai karakteristik (tingkat kepandaian, kelas, latar belakang, jenis kelamin, usia, kemajuan belajar, dan sebagainya) sesuai dengan karakteristik populasi sasaran.
Satu hal yang perlu dihindari baik untuk dua tahap evaluasi terdahulu maupun lebih-lebih lagi untuk tahap evaluasi lapangan adalah apa yang disebut efek halo (hallo effect). Situasi seperti ini muncul apabila media dicobakan pada kelompok responden yang salah. Maksudnya, kita dapat membuat program film bingkai lalu mencobakannya kepada siswa-siswa yang belum pernah melihat program film bingkai atau transportasi OHP dan film, kepada siswa-siswa yang belum pernah memperoleh sajian dengan transparansi atau melihat film. Pada situasi seperti ini, informasi yang diperoleh banyak dipengaruhi oleh sifat kebaruan tersebut sehingga kurang dapat dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Joesmani. Pengukuran dan Evaluasi dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud. 1988.
Ftaman blog di : http://ftaman.wordpress.com/2010/01/11/pengembangan-desain-pembelajaran/, diakses pada tanggal 25-April-2010.
Hamalik, Umar, Media Pendidikan. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.
Haryono. Pengembangan Model Pembelajaran. Semarang : UNNES Press, 1987.
Sadiman, Arief, et al., eds. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, Dan
Pemanfaatan. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2008.
Sudjana, Dasar – Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sumber Baru Al Gen Sindo. 2000
________________________________________
footnote:
[1] Umar Hamalik, Media Pendidikan. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2009), h. 32.
[2] Haryono. Pengembangan Model Pembelajaran. (Semarang : UNNES Press, 1987). h.5.
[3] Ibid., h.9.
[4] Ibid., hal.14
[5] Arief S. Sadiman, et al., eds., Media Pendidikan: (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.116.
[6] Ibid., h.117.
[7] Ibid., h.159
[8] Ibid., h.166
[9] Sudjana, Dasar – Dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung : Sumber Baru Al Gen Sindo, 2000), h.111.
[10] Joesmani, Pengukuran dan Evaluasi dalam Pembelajaran. (Jakarta: Depdikbud, 1988), h.19.
[11] Ibid., h.182.

Senin, 14 Maret 2011

REVOLUSI-SOCIOKULTURAL DALAM PEMBELAJARAN (Oleh: Nurhadi, M.Pd. guru SMA Negeri 5 Jayapura)

Bagaimana potensi siswa dalam proses belajar dapat diberdayakan secara efektif? Sejauh mana peran faktor sosiologis dalam menunjang faktor individu selama proses belajar? Mengapa seorang guru sangat penting mengaktifkan kedua faktor tersebut selama proses pembelajaran berlangsung? Nah diskusi singkat ini kiranya dapat memperjelas pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga perhatian guru selama pembelajaran tidak hanya terpaku pada faktor individu siswa namun juga mengakomodasi faktor-faktor penyangga lainnya selama pembelajaran. Sehingga pembelajaran yang berlangsung tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih ke arah kokonstruksi, yaitu mengkonstruksi pengetahuan baru bersama-sama antarsemua pihak yang terlibat di dalamnya sesuai zona perkembangan proxima-nya.

Teori belajar revolusi-sosiokultural berada dalam lingkup teori belajar kognitif yang diarahkan pembahasannya pada teori belajar Piagetian dan Vygotsky. Teori Piagetian menekankan peran individu serta teori Vygotsky yang menekankan peran sosial dalam perkembangan kognitif siswa. Namun keduanya menjadi dasar terumusnnya teori belajar revolusi-sosiokultural.

A. Teori Belajar Piagetian

Menurut John Piaget, perumus teori belajar Piagetian, belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu, C. Asri Budiningsih (2005:97). Keaktifan siswa menjadi unsur terpenting, sedangkan penataan kondisi bukan sebagai penyebab terjadinya belajar sebagaimana pemahaman teori belajar behavioristik. Lebih lanjut dikatakan, bahwa perkembangan kognitif merupakan proses genetik, yang didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang semakin kompleks sistem syarafnya, maka ketika seseorang makin dewasa dan melakukan adaptasi biologis dengan lingkungan yang dihadapi, hal ini akan menyebabkan perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya.

Proses adaptasi ini terdiri melalui dua bentuk, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dengan asimilasi, seseorang mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Sedangkan dengan proses akomodasi seseorang memodifikasi struktur kognitif yang telah ada dengan pengetahuan baru tersebut. Piaget, dalam C. Asri Budiningsih (2005:98) dalam teori perkembangannya membagi tahap-tahap perkembangan kognitif siswa menjadi empat tahap, yaitu: 1) sensorimotor ketika berumur 0-2 tahun, 2) praoperasional ketika berumur 2-7/8 tahun, 3) operasional konkret ketika berumur 7/8-11/12 tahun, dan 4) operasional formal ketika berumur 11/12-18 tahun. Penjelasan tahapan-tahapan tersebut sudah dibahas pada bab teori belajar kognitif terdahulu.

Teori belajar ini telah berkembang luas dan digunakan pada bidang psikologi dan pendidikan. Namun Supratiknya, dalam C. Asri Budiningsih (2005:98) mengkritik bahwa dalam beberapa aspek teori belajar Piagetian menimbulkan implikasi kontraproduktif dengan perspektif teori belajar revolusi-sosiokultural. Dari segi locus of cognitive development teori Piaget menganut teori psikogenesis yang menganggap pegetahuan berasal dari individu, di mana dalam proses pembelajaran siswa berdiri terpisan dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Faktor utama penentu belajar adalah individu (individualisme), sedangkan lingkungan sosial sebagai penentu sekunder. Menurutnya, dalam belajar mementingkan interaksi siswa dengan anggota kelompoknya, buka dengan orang dewasa. Oleh karena itu teori belajar Piagetian kurang sesuai dengan perspektif teori belajar revolusi-sosiokultural yang sebenarnya.

B. Teori Belajar Vigotsky

Lev Vigotsky menyatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosio-kultural dan sejarahnya, Mol & Greenberg dalam C. Asri Budiningsih (2005: 99). Perkembangan fungsi mental seseorang berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, bukan dari individu itu sendiri. Hal ini sejalan dengan salah satu sumber dari internet yang menyatakan:
“...Vygotsky’s belief that social interaction leads not only to increased levels of knowledge, but that it actually changes a child's thoughts and behaviours…it is the goal of parents and educators alike to help children become high achievers….”

Bahwa Vigotsky meyakini bahwa perkembangan interaksi sosial bukan untuk meningkatkan level pengetahuan saja, tetapi kenyataannya hal ini juga untuk merubah pemikiran dan perilaku anak...hal ini menjadi tujuan orang tua atau pendidik untuk membantu anak menjadi pembelajar-pembelajar terbaik.

Moll dalam C. Asri Budiningsih (2005: 99), menyatakan bahwa mekanisme hubungan dalam pendekatan sosiokultural dengan fungsi mental ada pada mediasi semiotik, yaitu berupa lambang atau tanda-tanda beserta makna yang terkandung di dalamnya yang berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas dalam pendekatan sosiokultural dengan manusia sebagai tempat berlangsungnya proses mental. Vygotsky menggarisbawahi perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis, di mana dimensi kesadaran sosial bersifat primer dan dimensi individualnya bersifat derivatif (turunan) serta bersifat sekunder. Pengetahuan dan perkembangan kognitif berasal dari sumber-sumber sosial, namun individu juga harus bersifat aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan yang didapatkannya dari sumber sosial tersebut (kokonstruktivisme). Jadi perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh individu yang aktif mengkonstruksi pengetahuan dari lingkungan sosial yang aktif menjumpainya.

Beberapa konsep penting teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan revolusi sosio-kultural, yaitu: hukum genetik tentang perkembangan, zona perkembangan proksima, dan mediasi.

1. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development).

Tumbuh dan berkembangnya kemampuan kognitif seseorang selalu melalui dua tahapan, yaitu tataran sosial seseorang membentuk lingkungan sosial atau intermental (bersifat primer/konstitutif) dan tataran psikologis di dalam diri seseorang atau intramental (derivasi/sekunder). Fungsi mental yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan berasal dari lingkungan sosial, sementara fungsi intramental terentuk melalui penguasaan dan internalisasi seseorang terhadap proses sosial tersebut, dan pemaknaan atau konstruksi pengetahuan akan terbentuk melalui proses internalisasi tersebut.

2. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)

Dari salah satu sumber internet dijelaskan bahwa Vygotsky mendeskripsikan Zona Perkembangan Proximal (ZPP) sebagai berikut:
"...the distance between the actual development level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers."

Perkembangan kemampuan seseorang untuk mengkonstruksi pengetahuan meliputi dua tingkat, yaitu tingkat aktual dan potensial. Tingkat aktual terlihat ketika seseorang menyelesaikan tugas-tugasnya secara mandiri sedangkan pada tingkat potensial seseorang harus mendapatkan bantuan orang yang lebih dewasa atau teman sebayanya yang kompeten. Zona perkembangan di antara tingkat aktual dengan potensial tersebut dinamakan zona perkembangan proksimal (ZPP), yaitu di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan seseorang yang belum matang atau dalam proses pematangan dan memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa atau teman sebayanya yang kompeten.

Untuk menafsirkan ZPP ini digunakan interpretasi scaffolding, yaitu dengan menganggap ZPP sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan mencepai perkembangan yang lebih tinggi, dengan bantuan berupa contoh dari orang dewasa atau teman sebaya yang kompeten dalam memecahkan masalah tertentu. Salah satu sumber dari situs internet menyatakan, “Scaffolding is instructor shows by example how to solve a problem”. Hal-hal yang perlu diperhatikan, bahwa perkembangan belajar bersifat interdependen (saling terkait), perkembangan kemampuan seseorang bersifat context dependent (tak terpisah dengan konteks sosial), dan bentuk fundamental belajar adalah partisipasi dalam kegiatan di sekitarnya (sosial).

Menurut Seels&Richey (2005: 46), tahap kegiatan seperti ini berada dalam zona media utilization. “Media utilization is the systematic use of resources for learning. The media utilization process is a decision-making process based on instructional design specifications..” Artinya, pemanfaatan media adalah penggunaan secara sistematik berbagai sumber untuk kegiatan pembelajaran. Proses pemanfaatan media merupakan sebuah proses pemecahan masalah (belajar) yang didasarkan pada spesifikasi desain pembelajaran). Dengan berbagai media bantuan cognitif scafolding tersebut diharapkan siswa dapat memecahkan masalah belajarnya serta mengembangkannya ke ZPP yeng lebih tinggi.

Sebelum kemampuan intramental terbentuk seseorang perlu dibantu dalam proses belajarnya, misalnya dengan memberi contoh, memberikan umpan balik, menarik kesimpulan dan sebagainya.

Dalam hal ini Vygotsky menggarisbawahi:
“…There are three ways in which learning is passed along to an individual. Imitative learning is the first, where the child simply copies another person. Second is instructed learning, where a child recalls direction given by a teacher and then puts it into play, and the third is collaborative learning. Collaborative learning happens when a peer group cooperates to learn or achieve a specific goal while working to understand one another.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka dengan pemberian contoh pembelajar akan mengalami imitasi (belajar dengan meniru secara sederhana dari orang lain), belajar dengan cara mengikuti petunjuk guru melalui permainan (semacam cognitif scafolding menurut Seels & Richey), dan belajar secara kolaboratif (saling pengertian satu sama lain) secara pasangan maupun kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Seseorang yang telah dibantu tetapi dia tidak menunjukkan kemajuan maka dia harus diturunkan ke zona di bawahnya. Sebaliknya bagi yang menunjukkan peningkatan setelah mendapatkan bantuan maka zonanya ditingkatkan.

3. Mediasi

Vygotsky memberi perhatian pada lambang atau tanda-tanda (psychological tool) yang merupakan produk lingkungan yang berfungsi sebagai mediator dalam proses sosial/psikologis seseorang, yaitu berupa bahasa, tanda dan lambang atau semiotika. Dalam proses internalisasi pada diri seseorang, mediasi semiotik menjadi penghubung antara rasionalitas dengan lingkungan sosiokultural sehingga menghasilkan pengetahuan.

Menurut Supratiknya dalam C. Asri Budiningsih, 2005: 103), bahwa ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif.

a. Mediasi metakognitif yaitu komunikasi antarpribadi dengan meggunakan alat untuk regulasi diri (self regulation), yang meliputi: self planning, self-monitoring, self checking, dan self-evaluating. Orang yang lebih dewasa atau teman sebaya yang kompeten menggunakan alat tersebut untuk membantu anak, selanjutnya anak menginternalisasi alat tersebut untuk regulasi diri.

b. Mediasi kognitif yaitu penggunaan alat-alat kognitif (berupa konsep spontan atau konsep ilmiah) untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu (subject-domain problem). Konsep ilmiah lebih terjamin kebenaranya dari pada konsep spontan, yang mana konsep tersebut diinternalisasi siswa (sebagai mediator) dalam pemecahan masalah. Konsep ilmiah dapat berupa pengetahuan deklaratif (yang kurang memadai) dan pengetahuan prosedural berupa metode atau strategi yang lebih memadai untuk memecahkan masalah. Agar proses pemecahan lebih bermakna maka caranya adalah memadukan antara konsep-konsep dan prosedur tersebut melalui demonstrasi dan praktik.

Beberapa keuntungan yang didapat dari teori Vygotsky di atas, yaitu:

1) anak berkesempatan luas mengembangkan ZPP melalui belajar dan berkembang

2) pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya

3) pembelajaran perlu lebih diarahkan pada strategi pengembangan kemampuan intermental dari pada intramental

4) anak perlu lebih diberi kesempatan mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah diketahuinya dengan pengetahuan prosedural dalam memecahkan masalah.

5) Pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih ke arah kokonstruksi, yaitu mengkonstruksi pengetahuan baru bersama-sama antarsemua pihak yang terlibat di dalamnya.
----------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka

C. Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Rineka Cipta.

Seels, Barbara& Richey, Rita C..(2005). Instructional Technology, the Definition and Domain of the Field, Washington: AECT.

http://www.unm.edu/%7Edevalenz/handouts/sociocult.html , Sociocultural Theory, Yulis Scherba de Valenzuela, (diunduh tgl. 30-10-08)

http://www.patsula.com/usefo/webbasedlearning/tutorial1/learning_theorie..., Applying Learning Theories to Online Instructional Design, Peter J. Patsula (diunduh tgl. 30-10-08)

PENGEMBANGAN E-LEARNING PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN UNTUK SLTA

ABSTRAK

Nurhadi: Pengembangan e-Learning Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta, 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menghasilkan e-Learning pembelajaran PKn untuk SLTA (eCivics) dengan spesifikasi bentuk dan isi yang telah ditetapkan, (2) mengetahui kualitas kelayakan eCivics sebagai media pembelajaran, dan (3) mengetahui efektivitas pembelajaran PKn dengan menggunakan eCivics.
Jenis penelitian adalah Penelitian dan Pengembangan (R&D). Berdasarkan model pengembangan eCivics maka disusunlah prosedur pengembangan, yaitu tahap perencanaan, desain, dan pengembangan. Pada tahap perencanaan dan desain dilakukan ongoing evaluation hingga menjadi produk awal. Pada tahap pengembangan dilakukan validasi Ahli Media dan Ahli Materi (Tes Alfa) untuk mengeliminasi permasalahan prosedur, kesesuaian dengan tujuan, dan alur komunikasinya. Setelah dilakukan revisi produk awal, maka dilakukan Tes Beta yang melibatkan siswa dan guru (klien) untuk mengetahui kelemahan eCivics ketika dicoba klien, sehingga direvisi pada tingkat akhir. Setelah itu dilakukan Tes Sumatif untuk mengetes eCivics dalam pembelajaran nyata. Tes Beta dan Tes Sumatif melibatkan siswa dan guru sebagai subjek coba. Siswa peserta Tes Beta sebanyak lima orang: tiga siswa subjek coba dan dua siswa potensial (dari sekolah lain) dan seorang guru PKn sebagai pemandu pembelajaran. Pada tahap Tes Sumatif, kelas dibagi dua kelompok secara representatif, dimana masing-masing kelompok sebanyak 15 siswa berperan sebagai sampel. Kelompok I adalah sampel kelas dengan media eCivics (eC) dan kelompok II dengan media presentasi Power Point (PP). Hal ini dibuat untuk mengetahui apakah hasil belajar eC lebih baik dari PP sebagai media tradisional.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut. (1) eCivics yang dihasilkan adalah sebuah sistem manajemen pembelajaran (LMS) online yang dibuat dengan software aplikasi moodle. ECivics menyajikan materi-materi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya untuk kelas XI, SK ke-4, KD ke-5 beserta tes dan tugas-tugasnya. (2) eCivics layak sebagai media pembelajaran PKn berdasarkan validasi Ahli Media, Ahli Materi, siswa, dan guru dengan skala 5, kelayakannya mencapai rerata skor 4,32 (kategori “sangat baik”). (3) Efektivitas pembelajaran PKn dengan menggunakan eC lebih baik daripada PP berdasarkan reaksi dan sikap siswa terhadap media dan pencapaian hasil belajar siswa: kognitif dan skill kewarganegaraan.

Kata kunci: pengembangan, e-Learning, Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas


English Version:

ABSTRACT

Nurhadi: E-Learning Development of the Civics Education Instruction for Senior High School. Thesis. Yogyakarta: Graduate Program, State University of Yogyakarta, 2010.

This study aims to: (1) produce e-learning of the Civics Education instruction for Senior High School (eCivics) with a specific model and content determinated, (2) find out the feasibility of eCivics as an instructional media, and (3) find out the effect of eCivics in the Civics Education instruction.
The type of the study is Research and Development (R&D). Based on the model of eCivics development, the procedures of the development were established following the steps of planning, design, and development. In the planning and design phases, an ongoing evaluation was done to yield a preliminary product. In the development phase, the validation of media and content experts (alpha test) eliminated the problems of the procedure, the goal appropriateness, and the flow of communication. After the preliminary product revision, the beta test was set involving students and the teacher (as clients) to find out the weaknesses of eCivics when tested by the clients, and then it was revised in the last phase. After that, a summative test was done to test eCivics in a real instruction. The beta and summative tests involved students and the teacher as the tried subjects. Five students were involved in the Beta Test: three of them as tried subjects and the others as potential ones (coming from other schools), and one teacher as a guide of the instruction. In the summative test phase, the class was divided into two groups representatively, in which each group consisted of 15 students as the sample. Group I was a class sample with eCivics media (eC) and Group II with the Power Point media presentation (PP). This was done to find out if the eC instructional achievement was better than PP as the traditional media.
The results of the study show the following. (1) ECivics produced is an online learning management system (LMS) made with moodle application software. ECivics present the Civics Education instructions’ materials, specially for grade 11th, the 4th SK, the 5th KD with it’s test and assignment. (2) ECivics is feasible as a Civics Education instructional media based on the validation by media expert, content expert, students, and teacher with a 5-scale evaluation, the feasibility of which reached a mean score of 4.32 (very good category). (3) The effect of the Civics Education instruction by using eC was better than that of PP based on student’s reactions and attitudes to media and student’s learning achievement: cognitive and the citizenship skills.

Keywords: the development, e-Learning, Civics Education, senior high school

Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik
berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.
Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik
tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan
mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan
budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia
menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.

Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).

Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan
menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi
warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan
cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya.
Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas,
“mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan
dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan
prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan
kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain
mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru
yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter
bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki
suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada
dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan
olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa,
kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting.
Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu
yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus
membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilainilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau
kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang
menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan
nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.

Sumber: Balitbang, Puskur: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (2010: 5-6)